Langsung ke konten utama
Julianto Eka Putra

 
Lahir: Surabaya, 8 Juli 1972
Istri: Yenny Tantono
Anak: Stefanus Dominique Jevon, Jean Angeline Michelle, Jean Natali Shannon
Pendidikan: S-1 Ekonomi Universitas 17 Agustus Surabaya
Pekerjaan: Distributor multilevel marketing High Desert Indonesia, Pengusaha penerbitan buku, Motivator
Kegiatan: Pendiri Yayasan Selamat Pagi Indonesia
 



"Saat lahir, kita tidak pernah bisa memilih untuk menjadi China, Jawa, Muslim, Nasrani, Hindu, Buddha, atau lainnya. Kita hanya bisa menjalaninya hingga ujung usia. Yang membedakan manusia adalah tindakannya. Biar langit yang akan mencatat, apakah kita nanti bertemu di surga atau di neraka."
Demikian ucapan Julianto Eka Putra (44), pendiri sekolah gratis SMA Selamat Pagi Indonesia di Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, pertengahan Desember 2016.
Ucapan itu merujuk pada kerisauan Julianto atas apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Sentimen agama, suku, perbedaan fisik dan pandangan seakan mengotak-ngotakkan masyarakat dan mengancam keutuhan bangsa ini.
Kerisauan seperti itu pernah dirasakan Julianto belasan tahun lalu. Ia ingat, Reformasi 1998 dibayar mahal dengan tragedi kemanusiaan berlatar belakang suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Tahun 2000, saat memberikan motivasi anggota multilevel marketing (MLM) di tempatnya bekerja, Julianto mengucapkan keinginan untuk membangun sekolah gratis pada 2010. Ikrar itu sempat dipertanyakan rekan-rekan dan keluarganya. Modal apa yang akan digunakan untuk membangun lembaga pendidikan itu? Namun, lelaki itu percaya, niatnya bakal terwujud.
Keyakinan itu mengetuk hati rekan-rekan Julianto. Mereka menyisihkan 5 persen pendapatan (baik pribadi maupun perusahaan) setiap bulan demi membantu mewujudkan "proyek" sekolah gratis itu. Tahun 2003 terkumpul uang Rp 900 juta. Namun, harga tanah yang diincar saat itu mencapai Rp 5,3 miliar.
Di luar dugaan, Julianto mendapat pinjaman uang Rp 5,3 miliar dari bos MLM Singapura tempatnya bekerja. Modal itu pula yang kemudian dibelikan tanah seluas 3,3 hektar di Bumiaji, Kota Batu, untuk lokasi sekolah. Utang itu lunas dikembalikan pada 2011.
Kota Batu dipilih karena udaranya sejuk. Itu sesuai dengan konsep sekolah asrama yang memang dirancang tidak berpenyejuk ruangan (AC). Dengan begitu, ongkos operasional menjadi lebih ringan.
Waktu berjalan. Tekad membangun sekolah gratis seperti tenggelam di tengah kesibukan Julianto. Lalu, pada 2005, lelaki itu tersentak oleh berita di koran. Seorang anak bunuh diri gara-gara tidak bisa membayar uang sekolah. Ia baca kabar tragis itu di Jawa Timur, kemudian di Jakarta, dua hari berturut-turut.
Sejak itu, Julianto mulai membangun asrama di lahan yang sudah dibelinya.



Tuduhan
Tekad Julianto untuk membangun sekolah kembali diuji. Ternyata sulit juga mengurus perizinan. Bertubi-tubi ia terima tuduhan bakal mendirikan sekolah untuk kristenisasi, sekolah beraliran Islam radikal, bahkan sekolah beraliran komunis.
Sempat Julianto nyaris patah arang dan tercekat rasa penasaran, kenapa mau berbuat baik saja sulit? Namun, seusai ditolak mengurus perizinan, datang seseorang berpakaian pegawai negeri sipil yang menepuk pundaknya seraya berkata, "Sabar, Mas. Berbuat baik itu memang susah," kenangnya menirukan sosok itu.
Julianto pun bangkit lagi untuk memperjuangkan izin sekolah gratis. Tahun 2007, izin SMA Selamat Pagi Indonesia pun keluar. Sekolah mulai menerima siswa pada tahun itu juga. Syarat utama siswa adalah yatim atau piatu serta harus berasal dari berbagai pelosok Indonesia, suku bangsa, dan agama.
Satu angkatan minimal harus ada perwakilan pelajar dari lima pulau besar di Indonesia serta dari lima agama di Indonesia. Julianto mencita-citakan "Indonesia Mini" di sekolah itu. Ia ingin membangun generasi bangsa yang menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Seperti air, semen, bata, dan batu, jika bersatu akan menjadi bangunan kokoh. Bangunan Indonesia Raya.
Sekolah swasta itu dirancang berasrama dan gratis. Setiap siswa bahkan mendapat uang saku Rp 150.000-Rp 200.000 per bulan. Saat ini, SMA Selamat Pagi Indonesia mendidik siswa angkatan ke-9 dengan tiap-tiap angkatan jumlahnya antara 30 orang dan 80 orang. Lembaga ini dikelola Yayasan Selamat Pagi Indonesia.
Serius
Setelah sekolah terbangun, dalam dua tahun, Julianto hanya datang dua kali ke sekolah itu. Ia merasa sudah cukup mewujudkan janjinya. Bisa dibilang, saat itu sekolah diurus sekenanya.
Lalu, pada suatu malam saat bekerja di luar kota Desember 2008, Julianto tiba-tiba kangen dengan sekolah itu. Ia bahkan menangis saat mendengar salah satu penghuni sekolah mengangkat teleponnya. Pernah lekat dengan dunia kelam saat remaja, lalu bisa hidup berkecukupan, ia merasa seperti ditegur Tuhan, kenapa ia tak kunjung serius membantu anak-anak sekolah?
Akhirnya, tahun 2009, Julianto pamitan dari MLM tempatnya bekerja dan fokus mengelola SMA Selamat Pagi Indonesia. Ia melepaskan pendapatan puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan demi membantu pendidikan anak-anak.
Julianto mulai menghabiskan banyak waktu di Kota Batu untuk mengurus sekolah. Pendidikan tiga anaknya di Surabaya banyak diurus istrinya. Anak keduanya, Jean Angeline Michelle, sudah melahirkan lima novel. Anak sulungnya, Stefanus Dominique Jevon, aktif bermain sepak bola hingga dikirim ke luar negeri.
Julianto bersama anak didiknya di SMA Selamat Pagi Indonesia gencar berpromosi. Berkat bantuan temannya di stasiun radio di Surabaya, keberadaan sekolah itu kian dikenal.
SMA itu memiliki laboratorium usaha untuk para siswa, berupa Kampoeng Kidz. Ini semacam wahana outbond atau pengenalan alam dan lingkungan. Sekolah juga membangun penginapan bagi mereka yang ingin menginap. Semua dikelola oleh alumni dan siswa. Usaha itu menjadi penghasilan sekolah.
"Orang tahunya sekolah kami kaya-raya. Namun, sebenarnya hingga kini keuangan sekolah masih minus," ujar Julianto, lelaki yang logat dan tutur katanya khas suroboyoan (bercirikan Surabaya) itu.
Kondisi minus dana itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa puas Julianto melihat anak didiknya berhasil. Contohnya, Wayan, anak keturunan Bali yang tinggal di Palembang, Sumatera Selatan. Dua hari pertama tinggal di sekolah, ia tidak mau keluar ruangan karena sangat takut dengan anak asal Papua. Ia menyangka orang Papua makan orang. Kini, Wayan sadar bahwa pandangan itu salah. Semua anak dari berbagai pulau di Nusantara adalah bangsa Indonesia yang patut dihargai. Wayan kini menjadi penanggung jawab pemasaran sekolah.
Julianto juga senang mengetahui siswa lain, Nur Hayati, tidak lagi takut disuntik dokter. Awalnya, gadis itu kabur saat hendak disuntik.
"Sedikit banyak, culture shock (kekagetan budaya) anak-anak Indonesia bisa berubah di sini. Ini kenyataan yang saya hadapi hampir di setiap angkatan. Dan, saya senang bisa membantu mengubah pandangan salah mereka tentang orang lain. Itu saja sudah cukup bagi saya," katanya.
Langkah-langkah kecil Julianto telah membantu mengubah stigma negatif satu suku atas suku lain. Ini bisa menjadi awal perubahan besar bagi Indonesia.
Kini, SMA Selamat Pagi Indonesia menjadi salah satu sekolah rujukan untuk studi banding bagi beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, dan Amerika Serikat. Kini, Julianto juga merintis sekolah tinggi gratis dan rumah sakit gratis di lahan yang sekarang seluas 16 hektar itu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Batu Sumber Towo Yang Bertuah di Mojokerto Mojokerto - Wilayah Trowulan, Mojokerto yang menjadi pusat Kerajaan Majapahit masih menyimpan banyak misteri. Salah satunya Makam Panjang, dan mata air yang konon mempunyai banyak khasiat. Makam Panjang ini terletak di Dusun Ungah-unggahan, Desa/Kecamatan Trowulan. Situs ini berjarak sekitar 200 meter arah timur laut dari Kolam Segaran. Bangunan Makam Panjang ini cukup sederhana. Hanya berupa pendapa yang dinaungi pohon beringin raksasa. Namun, di dalamnya ada sebuah makam yang ukurannya tak lazim. Foto: Enggran Eko Budianto Berbeda dengan makam pada umumnya, makam yang satu ini berukuran 5x2 meter. Terdapat sebuah batu mirip batu nisan dengan tulisan bahasa Sansekerta. Sementara dua bangunan gapura mini di depan makam merupakan bangunan baru. "Pada batu tersebut terdapat tulisan angka tahun 1012 masehi dan perjalanan hidup manusia," kata Juru Kunci Makam Panjang Sunoto (55) kepada detikcom, Jum
Kunjungan Pabrik Otsuka SMK Negeri 1 Mojokerto   Saya sebagai salah satu pelajar SMK Negeri 1 Mojokerto,saya mendapatkan pengalaman baru dalam dunia kerja industri.Dalam hal ini saya akan menceritakan Pengalaman saya saat berkunjung ke Pabrik Otsuka di Kota Pasuruan. Saat saya berkunjung pertama kalinya ke Pabrik Otsuka,saat saya masuk ke pabrik saya disambut ramah oleh para pegawai-pegawai pabrik tersebut.Saat masuk saya diarahkan oleh pegawai ke sebuah ruangan.Diruangan tersebut kami diberi presentasi alasan Pabrik Otsuka didirikan.  Dari gambar logo diatas maksud logo tersebut Pabrik Otsuka.lambang O besar logo biru memiliki impian yang ingin diwujudkan yang belambangkan "Langit Biru".Sedangkan lambangO besar logo merah melambangkan semangat dalam meraih impian tersebut. Berikut ini proses produksi Pabrik Otsuka a.       Pembuatan Botol 1.     Injection moulding Gambar 2.1 Injection Moulding digunakan untuk pembuatan atau pembent

Orang-orang melayani tanpa pamrih

SP-Suharyanto  dijuluki polisi dunia lain, polisi partikelir yang dengan suka rela mengatur lalu lintas di perempatan trowulan sebelum di gusur oleh polisi cepek dia mengalah pindah di daerah Simpang empat Sooko Mojokerto. Berbeda dengan polisi cepek yang biasanya kita lihat di tempat lain. Istilah polisi cepek adalah julukan untuk orang yang mengatur lalu lintas dengan mengharap orang yang lewat memberikan uang ala kadarnya. Polisi beneran biasanya melarang operasi para polisi cepek itu karena dianggap malah mengganggu. Kadang-kadang motifnya bukan membantu mengatur keruwetan lalu lintas tapi semata-mata ingin mencari uang di jalanan. Tak ubahnya dengan apa yang dilakukan para peminta-minta dan pengamen jalanan. Entah apa alasannya polisi tidak melarang kegiatan polisi dunia lain ini. Terbukti sudah hampir sepuluh tahun Suharyanto menjadi polisi partikelir yang mengatur lalu lintas daerah Simpang empat sooko. Mungkin karena ia tidak menerima uang ala peminta