Asal Mula Gunung Penanggungan
Kali ini saya menulis tentang sejarah atau asal mula Gunung
Penanggungan. Banyak wisatawan yang kurang mengetahui asal mu-asal
tempat yang dikunjunginya, oleh sebab itu di sini saya memaparkan cerita
rakyat menurut warga sekitar tentang asal mula Gunung Penganggungan.
langsung aja ke cerita yuk #SobatKeong
Gunung Penanggungan sendiri dikenal memiliki nilai sejarah tinggi karena
di sekujur lerengnya terdapat banyak peninggalan purbakala, baik berupa
candi, pertapaan, maupun petirtaan. Peninggalan sejarah di Gunung
Penanggungan berasal dari periode Hindu-Buddha di Jawa Timur. Tidak
hanya itu, Gunung Penanggungan dikenal sebagai Gunung Pawitra yang
berarti kabut.
Gunung ini berada dalam pegunungan Penanggungan yang terdiri dari Gunung
Penanggungan (1.653 mdpl), dan beberapa bukit yang mengelilinginya
yaitu Bukit Bakel (1.238 mdpl), Gajah Mungkur (1.084 mdpl), Sarah Klopo
(1.235 mdpl), dan Bukit Kemuncup (1.238 mdpl). Puncaknya terdiri dari
batuan cadas dan rerumputan. Ada juga satu situs berbentuk seperti makam
di puncak. Ketika malam, udara di puncak berkisar antara 10-15 derajat
celcius, sedangkan siang berkisar antara 15-25 derajat celcius.
Vegetasi yang menutupnya merupakan kawasan hutan dipterokarp bukit,
hutan dipterokarp atas, hutan montane, dan hutan ericaceous atau hutan
gunung. berbagai macam flora yang dijumpai di Gunung Penanggungan adalah
jenis-jenis tanaman rimba seperti jempurit, kluwak, ingas, kemiri,
dawung, bendo, wilingo, dan jabon. disana juga banyak ditemui tumbuhan
seperti laos, kunir, dan jahe. Medan yang ditempuh menuju puncak
Penanggungan meliputi medan datar, landai, miring, berbukit, dan
berjurang. di kaki gunung, keadaan medannya landai sampai sekitar 2
kilometer, naik ke atas kemiringannya berkisar antara 30 sampai 40
derajat. Di bagian perut gunung agak curam, berkisar 40 sampai 50
derajat.
Sampai di dada gunung banyak jurang-jurang dengan kemiringan berkisar
antara 50-60 derajat. Sedangkan dari leher sampai puncak kita akan
melewati medan curam berbatu, licin, dengan kemiringan berkisar antara
60-70 derajat. Ketika di puncak, batu-batu cadas akan nampak, dekat
dengan puncak akan menemui sebuah goa kecil yang bisa di gunakan untuk
berlindung dari badai. Berdasarkan catatan sejarah, sekitar tahun
1920-an, terjadi kebakaran hutan di lereng Penanggungan bagian barat,
kebakaran inilah yang mengawali penemuan puluhan situs arkeologi dan
ratusan artefak di Gunung Penanggungan.
Lima tahun berikutnya, WF Stuterheim mengadakan penelitian di
Gunung Penanggungan kemudian menyimpulkan makna Penanggungan bagi
masyarakat Jawa kuno. Banyaknya bangunan suci di lereng Penanggungan
membuktikan bahwa gunung Penanggungan erat kaitannya dengan tradisi
pemujaan kepada para Dewa atau arwah leluhur.
Bangunan suci itu berupa punden berundak, altar persajian, dan goa
pertapaan yang berfungsi sebagai pelataran tempat dijalankannya
ritual-ritual keagamaan. Masyarakat Jawa kuno menganggap gunung
Penanggungan sebagai puncak gunung Semeru. Penjelasan itu juga berdasar
pada kitab Tantu Panggelaran. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa
Bhatara Guru menugaskan Brahma dan Wisnu untuk mengisi pulau Jawa dengan
manusia. Karena Pulau Jawa selalu dilanda goncangan maka para dewa
memindahkan Gunung Mahameru dari India ke Jawa.
Dalam perjalanan memindahkan gunung tersebut, bagian Mahameru berguguran
menjadi gunung-gunung yang berjajar di sepanjang Pulau Jawa. Tubuh
Gunung Mahameru diletakkan agak miring menyandar pada Gunung Brahma
(Bromo) dan menjadi Gunung Semeru. Sedang Puncak Mahameru sendiri adalah
gunung Penanggungan. Namun ada cerita lain menyebutkan bahwa Gunung
Penanggungan merupakan puncak dari Gunung Arjuno, para dewa memotong
puncak Gunung Arjuno untuk membangunkan arjuna dari pertapaannya.
Gunung Penanggungan dianggap suci oleh masyarakat Jawa kuno, merupakan
tempat mensucikan diri bagi para pertapa, raja-raja, keluarga dan
petinggi kerajaan. Di kaki gunung Penanggungan terdapat petirtaan
(pemandian) Jolotundo yang dibangun antara tahun 899-977 Masehi, dan
dulu digunakan oleh keluarga kerajaan Majapahit.
Sekarang, Jolotundo masih mengalirkan air dan berfungsi sebagai tempat
wisata pemandian. Masyarakat sekitar percaya bahwa air yang mengalir di
Jaladwara (pancuran air di petirtaan Jolotundo) adalah amerta (air
keabadian), karena berasal dari Gunung Penanggungan, yang dianggap
sebagai gunung suci
Pada masa kejayaan Majapahit, gunung Penanggungan sering dikunjungi oleh
Prabu Hayam Wuruk untuk bersembahyang atau sekedar menghabiskan
waktunya di Jolotundo. bahkan dalam kekawin Negarakertagama pupuh
terdapat pujian terhadap gunung Penanggungan. disebutkan ketika sang
Prabu yang suka jalan-jalan tersebut pulang dari perjalanan keliling
Jawa Timur dari Lumajang ke kerajaannya, dia melewati Pasuruan dan
singgah di Cunggrang. di Ceritakan bahwa dari Cunggrang (yang merupakan
asrama para pertapa dan terletak di tepi lereng Penanggungan), Prabu
Hayam Wuruk melihat pemandangan yang begitu indah dari gunung
Penanggungan.
Bangunan suci di Penanggungan sebenarnya sudah ada sejak masa pra Hindu -
Buddha, berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap arwah leluhur. pada
masa Hindu - Buddha, bangunan tersebut beralih fungsi menjadi tempat
pemujaan terhadap para Dewa. pada masa kejayaan Majapahit, para pertapa
dan masyarakat banyak membangun lagi tempat pemujaan Dewa. tak heran
Penanggungan menjadi gunung yang kaya akan situs arkeolgi
Komentar
Posting Komentar