Kisah Sejarah Langgar/Mushola
Pesantren Syekh Kuro mempunyai santri –salah satunya– Nyai Subanglarang, salah seorang istri Prabu Siliwangi. Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite. Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau oleh putranya Kian Santang atau Pangeran Cakrabuana. Proses Islamisasi di Sunda Kelapa (Betawi) dan sekitarnya termasuk daerah Depok di abad ke-14 sampai ke-16 tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang. Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam.
Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata : ‘parahyangan’. Tapi, menurutnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?
Kian Santang, cukup berjasa dalam dakwahnya, termasuk di Betawi dan sekitarnya. Karena itu, sekalipun dia berasal dari Sunda, tapi mendapat tempat di hati orang Betawi. Salah satu murid Kian Santang yang membantu dakwah tersebar di Betawi adalah Pangeran Papak, adipati Tanjung Jaya (Tanjung Barat). Penguasa Pajajaran, ketika itu menyebut mereka yang masuk Islam sebagai kaum langgara. Berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya orang-orang yang telah berubah atau beralih kepercayaan. Dan tempat shalat mereka disebut langgar. Karena itu, orang Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan dari mushola.
Langgar, surau, meunasah dalam bahasa Aceh, atau mushala mengandung pengertian sebagai bangunan untuk tempat ibadah bagi umat Islam dalam ukuran yang relatif kecil dan sederhana, lebih kecil ukurannya dibandingkan masjid. Pada masa lalu ketika penduduk belum begitu banyak, langgar sudah dapat menampung atau mencukupi kebutuhan peribadatan warga sekitar atau setempat. Kini langgar mungkin sudah relatif sedikit jumlahnya, terutama di Jawa. Mushala justru lebih banyak kita temukan karena umumnya mushala dibangun sebagai kelengkapan dari sebuah kompleks bangunan (kantor, kampus, rumah keluarga, sekolah, pondokan, dan sebagainya).
Langgar biasanya terbuat dari kayu dan bambu serta berdinding gedhek/pagar (anyaman bambu). Langgar itu berada di pekarangan rumah, di pinggir kali (sungai), konstruksi utama (balungan) langgar tersebut dibuat dengan sistem rumah panggung. Lantai dari langgar ini berupa susunan papan atau bambu yang kemudian dilapisi kepang (anyaman bambu) atau balai pelupuh dan tikar di bagian atasnya. Tinggi lantai langgar dari tanah sekitar 75 cm. Ukuran langgar sekitar 5 m x 4 m atau lebih besar dari itu.
Dulu langgar relatif ramai digunakan oleh warga. Akan tetapi setelah terdapat bangunan masjid dan juga mushala yang lebih permanen, langgar yang terbuat dari kayu dan bambu ini mulai tersisih keberadaanya.
Ada nuansa yang berbeda antara langgar atau mushala yang dibangun dengan bahan kayu dan bambu, dibandingkan dengan langgar atau mushala yang terbuat dari semen, bata, batu, dan lantai keramik. Langgar yang dibuat dengan bahan kayu-bambu di desa-desa yang umumnya dikerjakan secara sederhana, justru menampilkan kebersahajaan yang khas. Namun di balik itu, langgar yang demikian itu ternyata cukup nyaman untuk digunakan.
Bangunan sederhana semacam itu akan terasa relatif hangat di musim penghujan. Akan tetapi juga cukup sejuk di musim kemarau. Mungkin hal itu disebabkan karena dinding pagar/gedhek memiliki pori-pori yang besar sehingga menjadi semacam ventilasi-ventilasi kecil di seluruh dinding (bangunan).
Selain itu sifat kayu memang tidak dapat menyerap dan menyimpan dingin dalam waktu lama. Kayu dan bambu juga bukan penghantar panas yang baik sehingga di musim panas tetap akan memberikan rasa sejuk. Kini langgar yang terbuat dari kayu dan bambu sudah hamper sulit di temukan di Depok yang kini sudah menjadi kota.
Komentar
Posting Komentar